Menjelang tengah malam, Harjuna memasuki halaman padepokan Sokalima.
Temaramnya cahaya lampu minyak menyambut wajah halus nan tampan di pintu
gerbang padepokan. Wajah tersebut sudah sangat dikenal oleh para
cantrik yang jaga, sehingga dengan serta-merta mereka menyambutnya
dengan penuh hormat, dan mengantarnya sampai di depan pintu, tempat sang
guru menanti.
Sang Guru Durna sudah cukup lama duduk bersila di ruang dalam menghadap
meja dengan lampu minyak yang diletakkan di tengah-tengahnya. Di meja
pendek itulah Guru Durna meletakan pusaka andalan yang berujud busur
panah pemberian Batara Indra, namanya Gandewa. Kedahsyatan pusaka ini
adalah, jika busur tersebut ditarik di medan perang, akan mengeluarkan
anak panah dengan jumlah tak terbatas, dapat mencapai ratusan ribu,
tergantung dari pemakainya. Sesungguhnya busur ini akan diwariskan
kepada Aswatama, anak laki-laki satu-satunya. Namun rupanya sang guru
Durna tidak cukup puas dengan kemampuan Aswatama. Dibandingkan dengan
murid-murid yang lain, Aswatama tidak memiliki keistimewaan, sehingga
jika pusaka Gandewa dipercayakan kepada Aswatama, ia akan mengalami
kesulitan untuk menggunakannya, apalagi jika harus menarik busur Gandewa
di medan perang.
Dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada, terlebih pada penguasaan
berolah senjata panah, maka Harjunalah yang mempunyai kemampuan memanah
jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Maka tidak dapat disalahkan
jika Harjuna lebih diistimewakan dibanding murid-murid yang lain,
termasuk juga Aswatama, karena Harjuna memang istimewa.
Suara gemerit menandakan pintu ruang tengah dibuka.
Saya datang menghadap di tengah malam ini bapa guru, maafkan saya
Masuklah Harjuna, aku telah lama menunggumu.
Dengan langkah hati-hati Harjuna memasuki ruangan, menyembah, untuk
kemudian laku dhodhok dan duduk menunduk di hadapan sang guru Durna.
Mata Harjuna menatap sebuah busur yang pernah diperlihatkan kepadanya.
Ada getar yang kuat di hati Harjuna melihat busur Gandewa yang sengaja
diletakan dan disiapkan di meja. Sebagai murid yang lantip dan cerdas
Harjuna dapat membaca bahwa ada hubungannya antara pemanggilan dirinya
dengan pusaka Gandewa.
Suasana menjadi hening dan khidmat ketika Durna mengawali pembicaraan yang wigati dan serius.
Harjuna murid yang aku kasihi, engkau tahu pusaka ini adalah pemberian
Batara Indra pemimpin para Dewa. Diberikan padaku karena ketekunanku
menjalani laku belajar ilmu memanah, baik secara lahir dan juga secara
batin. Sehingga bagiku busur Gandewa ini merupakan tanda puncak
prestasiku dalam hal ilmu memanah.
Namun sekarang aku tidak muda lagi, apalagi fisikku cacat sehingga tidak
mungkin berprestasi seperti dulu lagi. Oleh karenanya, busur Gandewa
ini sebaiknya aku wariskan kepada murid yang dapat mencecap ilmu
memanahku dengan tuntas.
Pada mulanya aku memang berharap banyak kepada anakku Aswatama, namun
dengan jujur aku mengakui bahwa ia tidak mampu mewarisi pusaka dahsyat
ini, dikarenakan ilmu memanahnya tidak sempurna. Harjuna tentunya engkau
dapat membaca arah pembicaraanku ini. namun pasti engkau tidak akan
pernah menduga rencanaku atas pusaka ini.
Ampun Bapa Guru, saya tidak akan pernah mengungkapkan isi hatiku,
sebelum Bapa Guru mengatakan kepadaku. Karena sesungguhnya, bapa guru
dapat membaca isi hatiku.
He he he, Harjuna engkau memang murid yang selalu bisa membuat aku
bangga. Kepatuhan, ketekunan, kemampuan dan kesetiaan yang telah engkau
baktikan kepadaku selama ini adalah dasar pertimbanganku untuk
memberikan semua ilmu yang ada padaku, khususnya ilmu memanah. Sehingga
dengan demikian kemampuan memanah yang telah engkau kuasai sejajar
dengan dengan kemampuanku. Jika aku lebih unggul dalam pengalaman,
engkaupun lebih unggul dalam hal tenaga.
Harjuna bocah bagus, seorang guru sejati akan sangat berbahagia jika
dapat menghasilkan murid yang mempunyai kemampuan melebihi gurunya. Maka
untuk itulah aku memanggilmu secara khusus di tengah malam ini untuk
menyempurnakan ilmu memanah yang telah aku ajarkan padamu.
Tangan Durna yang mulai menampakan keriputnya tersebut bergetar, dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil pusaka Gandewa.
Terimalah pusaka ini, Harjuna
Bapa Guru
Seperti ketika aku menerima pusaka ini dari Batara Indra, demikian pula
aku memberikan pusaka ini kepadamu sebagai tanda penghargaan atas
prestasimu dalam ilmu memanah.
Adhuh Bapa Guru, apakah aku cukup pantas menerima penghargaan yang
demikian tinggi? Tidakkah Aswatama yang lebih berhak menerima warisan
pusaka dari Bapa Guru Durna?
Harjuna, purbawasesa ada padaku, aku masih percaya bahwa engkau tidak akan pernah mencoba untuk tidak taat kepada perintahku.
Ampun bapa guru Durna, dengan penuh rasa bakti dan hormat pusaka
Gandewa aku terima. terimakasih bapa guru atas penghargaan ini.
Dengan perlahan tangan Harjuna dijulurkan menerima pusaka Gandewa.
Di sisi gelap, jauh dari jangkauan cahaya lampu minyak, ada sepasang
mata yang sejak awal memperhatikan dialog antara guru dan murid
tersebut. Pada saat pusaka Gandewa telah berpindah ke tangan Harjuna,
dari ke dua sudut mata tersebut menyembul airmata bening berkilau. Walau
hanya beberapa tetes, namun telah mampu membasahi ke dua pipinya.
No comments:
Post a Comment